Vlog Jokowi dan Hasrat Kekinian...
Vlog bersama Raja Salman itu pun bukan karya “kekinian” perdana Jokowi. Vlog perdananya tayang sekitar sebulan lebih awal, yaitu di akun Facebook milik Presiden. Sesudahnya, ada juga edisi vlog Jokowi saat makan bakso.
Masih dari rangkaian perjalanan Raja Salman, PM Malaysia Najib Razak sempat pula meminta berfoto selfie berdua di dalam mobil. Foto ini kemudian diunggah di akun Twitter milik Najib.
Sebelumnya, foto-foto Presiden Barack Obama—Presiden Amerika Serikat sebelum Donald Trump—sempat menghangatkan dunia maya dengan aneka adegan manusiawinya.
Sebut saja saat dia rebah di karpet kantornya sembari mengangkat tinggi-tinggi seorang bocah di atasnya.
Obama juga pernah ramai menjadi perbincangan saat kedapatan membuat foto selfie bersama para pemimpin negara atau istri mereka di acara pemakaman Nelson Mandela.
Selain tampilan formal kenegaraan, foto Obama dalam beragam adegan yang tak jaim itu mengundang banyak perhatian. Tulisan panjang mengenai foto-foto Obama ini, antara lain tayang di Busines Insider edisi 14 November 2016.
Melesatnya teknologi ponsel pintar tak bisa dimungkiri mendongkrak minat orang semakin banyak memotret dan membuat video. Cukup bermodal gadget di genggaman, semua itu bisa dibuat. Selfie dan vlog tentu saja jadi bagiannya.
Internet yang makin cepat dan makin beragamnya media sosial, menambah daftar pemicu kesenangan selfie dan membuat video diri sendiri. Fitur-fitur live dalam media sosial, jadi bumbu penyedap berikutnya.
Aplikasi Google Photo yang baru meluncur pada 2015, misalnya, mendapati 200 juta orang sudah memakainya pada ulang tahun pertama "album" tersebut. Seperti diunggah di blog Google, 24 juta di antara semua foto itu adalah hasil jepret diri alias selfie!
Padahal, sejarah aktivitas swafoto bisa dibilang masih relatif singkat, terutama untuk pemunculan kata itu sendiri.
Swafoto sebagaimana yang dipahami orang-orang sekarang—memakai ponsel dan kamera depannya—baru bermula pada kisaran 2011. Kamus Oxford lalu mengakomodasi kata selfie pada 2013.
Namun, aktivitas memotret diri pertama yang tercatat di sejarah memang sudah terjadi pada 1839. Adalah Robert Cornelius yang melakukannya di Philadelphia, Amerika Serikat.
Terkini, survei pada 2015 mendapati, rata-rata generasi milenial sekarang diperkirakan menghasilkan sekitar 25.676 foto jepretan sendiri seperti itu selama hidupnya. Setidaknya, itu merujuk riset yang dilakukan Luster Premium White terhadap 1.000 warga Amerika Serikat berusia 18-34 tahun.
( Demi Tren Selfie Tetap Eksis)
Saking bekennya aktivitas ini, Time sampai mengeluarkan peringkat 100 kota yang menjadi asal pengunggah foto selfie terbanyak di dunia, pada 2014.
Berdasarkan riset atas 40.000 foto yang memasang tanda pagar #selfie tersebut, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar masuk di dalamnya.
Sebelumnya, pada 2012, Time sudah pula menobatkan kata selfie sebagai satu dari 10 kata kunci paling populer di dunia maya.
Adapun vlog terasa baru menguar kuat belakangan. Padahal, sejarahnya malah lebih awal daripada swafoto.
Dalam banyak risalah dan paper, vlog pertama yang diakui saat ini adalah karya Adam Kontras. Pada 2 Januari 2000, dia menayangkan video tentang pindahan rumah itu di tulisan pertama blog “Journey” miliknya.
Meski begitu, dalam pengantar di halaman muka blog tersebut Kontras mengatakan bahwa dia sebenarnya sudah lebih awal mengunggah vlog, yaitu pada Mei 1999.
Sebagaimana perjalanan Kontras, vlog memang dianggap sebagai bentuk turunan blog—yang semula merupakan singkatan dari frasa “weblog”—yaitu ketika konten sudah memuat materi pemvideoan diri sendiri.
Meski blog bergaung lebih lama dan masih banyak digemari orang, vlog bisa dibilang meroket dan makin ngetren belakangan ini. Sejumlah orang bahkan mendapatkan penghasilan besar dari aktivitas memvideokan diri sendiri tersebut.
Di luar masalah nambah kocek, makalah Maggie Griffith dan Zizi Papcharissi— diunggah di jurnal First Monday pada Januari 2010—menengarai ada tiga motivasi utama yang melatari seseorang membuat vlog.
Tiga motivasi itu, sebut mereka, adalah menjadikan vlog sebagai media catatan harian (diary), pengekspresian identitas, dan mengakomodasi bakat narsis.
Riset ini dan beragam kajian lain pun sependapat, vlog mendapatkan momentum awal untuk menjadi tren global sejalan dengan kelahiran YouTube pada 2005.
Lagi-lagi, perkembangan teknologi informasi dan gadget—yang memungkinkan internet berkecepatan tinggi dan kemudahan mengakses peranti pembuat video—semakin mendongkrak popularitas.
Kenapa di Indonesia tren vlog baru kental berasa belakangan ini?
Bisa jadi hal tersebut kembali pada soal infrastruktur teknologi informasi dan daya beli masyarakat yang baru memungkinkan “kemewahan” bergaya di depan kamera sebagai hal mudah.
Atau, jangan-jangan ya sekadar telat kenal hasrat terpapar kamera saja? Semoga lebih karena banyak orang baru merasa butuh mendokumentasikan aktivitas harian dalam wujud yang kekinian....
0 Response to "Vlog Jokowi dan Hasrat Kekinian..."
Post a Comment