Dirut Telkomsel Jawab Tudingan Tarif Mahal

Jakarta - Pembahasan seputar tarif seluler di Indonesia seakan tak ada habisnya. Banyak yang bilang kalau tarif telepon, SMS dan data (internet) di Indonesia masih kemahalan, namun tak sedikit pula yang mengatakan itu sudah terjangkau.
Mengomentari debat kusir soal isu tarif seluler â€" khususnya layanan data â€" Direktur Telkomsel Ririek Adriansyah pun angkat bicara. Ririek memang layak bersuara, sebab Telkomsel kerap ditempatkan memiliki tarif premium.
Namun di sisi lain, operator anak usaha Telkom ini juga menjadi penyedia layanan telekomunikasi dengan infrastruktur paling luas dengan kekuatan 140 ribu BTS (base transceiver station) yang mencakup 99% populasi. Adapun jumlah pelanggannya sudah tembus 170 juta â€" dengan 89 juta di antaranya merupakan pelanggan data â€" sehingga membuat Telkomsel menguasai sekitar 56% pangsa pasar di industri seluler Tanah Air.
Kembali ke soal tarif, Ririek menilai mahal atau murah suatu layanan operator itu sejatinya relatif. Pasalnya, ini tergantung oleh berbagai faktor. Mulai dari kualitas layanan, pengembangan infrastruktur, teknologi yang digunakan, biaya operasional dan lainnya.
"Kalau mau coba bandingkan tarif di Indonesia dengan di negara lain, karena kan vendor yang membantu operator untuk membangun infrastruktur jaringan kan itu-itu saja, jadi sama dengan di negara lain," lanjutnya.
"Tapi coba bandingkan tarif layanan mereka dengan di Indonesia. Bahkan, tarif di Indonesia sebenarnya sudah masuk ketiga termurah. Coba saja buka websitenya operator di negara lain, meski ada beragam layanan, kan bisa dihitung secara rata-ratanya," Ririek menambahkan di sela uji jaringan Telkomsel untuk menyambut Ramadan dan Idul Fitri 2017 di kota Malang.
Pengguna juga diimbau untuk memikirkan kualitas dan ketersediaan layanan, selain persoalan tarif. Sebab dalam jangka panjang, harga layanan yang terlalu murah dinilai juga bisa merugikan pelanggan.
"Harga terlalu murah itu memang kelihatannya baik bagi masyarakat, tapi itu untuk jangka pendek. Karena akan berpengaruh dengan layanan yang didapatkan oleh pelanggan dan pengembangan ekspansi jaringan," tukasnya.
Singkatnya, operator membutuhkan dana yang lumayan besar untuk terus menjaga kualitas dan penyebaran layanannya ke berbagai area. Nah, jika operator dari sisi keuangan juga tidak sehat maka sulit untuk diandalkan untuk mau membangun ke daerah yang dianggap tidak menguntungkan.
Apalagi kondisi geografis Indonesia itu kepulauan, tidak seperti negara lain â€" misalnya Malaysia -- yang secara geografis lebih mudah dilakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi lantaran mayoritas wilayahnya berada di satu dataran.
Lantas apakah berarti tak boleh terlalu murah ini berarti masyarakat harus membayar mahal untuk layanan telekomunikasi? Tidak juga! Sebab Ririek menyebut idealnya industri telekomunikasi itu harus memenuhi tiga hal.
Pertama adalah harga terjangkau. Terjangkau di sini maksudnya sesuai dengan daya beli masyarakat tetapi bukan berarti operatornya juga harus berdarah-darah untuk menambal tarif yang diobral. Operator tentu juga punya hak untuk untung, karena untuk menjalankan operasional perusahaan dan pengembangan infrastruktur.
Poin kedua adalah sustainability atau pembangunan yang berkelanjutan. Dimana ini menuntu operator untuk jangan cuma membangun di kota-kota besar saja. Dan ketiga harus merata, ada di mana-mana.
"Masyarakat Indonesia itu ada dari Sabang sampai Merauke. masa yang menikmati internet cuma di Jakarta?" pungkasnya.
Dalam kesempatan terpisah, sebelumnya komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Ketut Prihadi menilai dari sisi ekosistem bisnis semua harus diuntungkan atau win-win solution.
Penyelenggara jasa seluler harus mendapatkan keuntungan dari bisnis mobile data agar layanan data tetap berlangsung. Di sisi lain, penyelenggara jasa seluler juga harus melakukan efisiensi agar harga jual data ke konsumen dapat memenuhi keterjangkauan konsumen.
Ketika ekosistem itu berjalan dengan baik, tentu masyarakat banyak akan diuntungkan karena mereka akan memperoleh layanan mobile data dengan kecepatan maksimal dan harga terjangkau.
Menyoal hal tersebut, BRTI tengah menyusun revisi/pengganti PM 9/2008 tentang Tarif Jasa Telekomunikasi. Aturan tersebut hanya menyangkut tarif telepon dan SMS, belum tarif jasa internet.
Dalam posisi ini, BRTI beserta Kominfo hanya membuatkan formula saja, bukan turut menentukan tarif internet yang dipungut operator. Adapun lima materi pokok yang diatur dalam revisi PM 9/2008 itu, di antaranya:
1. Komponen biaya elemen jaringan (network element cost) merupakan biaya penggunaan jasa akses internet.
2. Biaya penggunaan layanan akses internet berupa biaya yang dibebankan oleh penyelenggara kepada pengguna untuk setiap pengguna layanan akses internet.
3. Biaya pengguna akses internet sudah termasuk biaya elemen jaringan sewa bandwidth internasional.
4. Komponen biaya aktivitas layanan retail merupakan biaya aktivasi dan/atau biaya berlangganan.
5. Komponen profit margin merupakan tingkat keuntungan yang ditetapkan oleh penyelenggara. (ash/afr)
Mengomentari debat kusir soal isu tarif seluler â€" khususnya layanan data â€" Direktur Telkomsel Ririek Adriansyah pun angkat bicara. Ririek memang layak bersuara, sebab Telkomsel kerap ditempatkan memiliki tarif premium.
Namun di sisi lain, operator anak usaha Telkom ini juga menjadi penyedia layanan telekomunikasi dengan infrastruktur paling luas dengan kekuatan 140 ribu BTS (base transceiver station) yang mencakup 99% populasi. Adapun jumlah pelanggannya sudah tembus 170 juta â€" dengan 89 juta di antaranya merupakan pelanggan data â€" sehingga membuat Telkomsel menguasai sekitar 56% pangsa pasar di industri seluler Tanah Air.
Kembali ke soal tarif, Ririek menilai mahal atau murah suatu layanan operator itu sejatinya relatif. Pasalnya, ini tergantung oleh berbagai faktor. Mulai dari kualitas layanan, pengembangan infrastruktur, teknologi yang digunakan, biaya operasional dan lainnya.
"Kalau mau coba bandingkan tarif di Indonesia dengan di negara lain, karena kan vendor yang membantu operator untuk membangun infrastruktur jaringan kan itu-itu saja, jadi sama dengan di negara lain," lanjutnya.
"Tapi coba bandingkan tarif layanan mereka dengan di Indonesia. Bahkan, tarif di Indonesia sebenarnya sudah masuk ketiga termurah. Coba saja buka websitenya operator di negara lain, meski ada beragam layanan, kan bisa dihitung secara rata-ratanya," Ririek menambahkan di sela uji jaringan Telkomsel untuk menyambut Ramadan dan Idul Fitri 2017 di kota Malang.
Pengguna juga diimbau untuk memikirkan kualitas dan ketersediaan layanan, selain persoalan tarif. Sebab dalam jangka panjang, harga layanan yang terlalu murah dinilai juga bisa merugikan pelanggan.
"Harga terlalu murah itu memang kelihatannya baik bagi masyarakat, tapi itu untuk jangka pendek. Karena akan berpengaruh dengan layanan yang didapatkan oleh pelanggan dan pengembangan ekspansi jaringan," tukasnya.
Singkatnya, operator membutuhkan dana yang lumayan besar untuk terus menjaga kualitas dan penyebaran layanannya ke berbagai area. Nah, jika operator dari sisi keuangan juga tidak sehat maka sulit untuk diandalkan untuk mau membangun ke daerah yang dianggap tidak menguntungkan.
Apalagi kondisi geografis Indonesia itu kepulauan, tidak seperti negara lain â€" misalnya Malaysia -- yang secara geografis lebih mudah dilakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi lantaran mayoritas wilayahnya berada di satu dataran.
Lantas apakah berarti tak boleh terlalu murah ini berarti masyarakat harus membayar mahal untuk layanan telekomunikasi? Tidak juga! Sebab Ririek menyebut idealnya industri telekomunikasi itu harus memenuhi tiga hal.
Pertama adalah harga terjangkau. Terjangkau di sini maksudnya sesuai dengan daya beli masyarakat tetapi bukan berarti operatornya juga harus berdarah-darah untuk menambal tarif yang diobral. Operator tentu juga punya hak untuk untung, karena untuk menjalankan operasional perusahaan dan pengembangan infrastruktur.
Poin kedua adalah sustainability atau pembangunan yang berkelanjutan. Dimana ini menuntu operator untuk jangan cuma membangun di kota-kota besar saja. Dan ketiga harus merata, ada di mana-mana.
"Masyarakat Indonesia itu ada dari Sabang sampai Merauke. masa yang menikmati internet cuma di Jakarta?" pungkasnya.
Dalam kesempatan terpisah, sebelumnya komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Ketut Prihadi menilai dari sisi ekosistem bisnis semua harus diuntungkan atau win-win solution.
Penyelenggara jasa seluler harus mendapatkan keuntungan dari bisnis mobile data agar layanan data tetap berlangsung. Di sisi lain, penyelenggara jasa seluler juga harus melakukan efisiensi agar harga jual data ke konsumen dapat memenuhi keterjangkauan konsumen.
Ketika ekosistem itu berjalan dengan baik, tentu masyarakat banyak akan diuntungkan karena mereka akan memperoleh layanan mobile data dengan kecepatan maksimal dan harga terjangkau.
Menyoal hal tersebut, BRTI tengah menyusun revisi/pengganti PM 9/2008 tentang Tarif Jasa Telekomunikasi. Aturan tersebut hanya menyangkut tarif telepon dan SMS, belum tarif jasa internet.
Dalam posisi ini, BRTI beserta Kominfo hanya membuatkan formula saja, bukan turut menentukan tarif internet yang dipungut operator. Adapun lima materi pokok yang diatur dalam revisi PM 9/2008 itu, di antaranya:
1. Komponen biaya elemen jaringan (network element cost) merupakan biaya penggunaan jasa akses internet.
2. Biaya penggunaan layanan akses internet berupa biaya yang dibebankan oleh penyelenggara kepada pengguna untuk setiap pengguna layanan akses internet.
3. Biaya pengguna akses internet sudah termasuk biaya elemen jaringan sewa bandwidth internasional.
4. Komponen biaya aktivitas layanan retail merupakan biaya aktivasi dan/atau biaya berlangganan.
5. Komponen profit margin merupakan tingkat keuntungan yang ditetapkan oleh penyelenggara. (ash/afr)
Sumber
0 Response to "Dirut Telkomsel Jawab Tudingan Tarif Mahal"
Post a Comment