Soal #SkipChallenge, Kemenkes: Perlu Peran UKS dan Orangtua

Jakarta - Menanggapi tren skip challenge, Kementerian Kesehatan secara serius menanggapinya dengan mengajak peran serta Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan para orangtua.
Dikatakan Direktur Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan, dr Eni Gustina, MPH, skip challenge adalah permainan berbahaya. Melalui peran UKS dan para orangtua, diharapkan pengawasan terhadap remaja akan lebih aktif untuk mencegahnya.
"Kita baru tahu ini, akan kita sosialisasikan untuk UKS. Kebetulan kami mau ada pelatihan petugas UKS di Jakarta perlu dijelaskan ke anak-anak bahwa otak itu sangat penting. Tidak hanya masalah nutrisi saja tapi kalau dibikin asfiksia sel-sel otak akan mati dan dampaknya irreversible (permanen -red)," kata dr Eni ketika ditemui di Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/3/2017).
Menurutnya, orangtua juga perlu lebih memperdalam komunikasi dengan anak. Pasalnya, menginjak usia remaja, anak cenderung 'dilepas' sehingga sering kali orangtua tidak tahu atau minim pengetahuan mengenai apa yang dilakukan anaknya.
"Komunikasi! Paling penting itu komunikasi dengan anak. Enggak cuma nanya 'PR mu mana sudah selesai belum?'. Tanya apa saja yang dilakukan tadi, bercerita, jadi ada keterbukaan enggak merasa dilepas," sebut dr Eni.
Seperti diketahui, di media sosial tengah viral skip challenge atau pass out challenge. Dalam tantangan ini, seorang anak akan berdiri membelakangi tembok lalu dengan perlahan namun kuat-kuat temannya menekan dada sang anak.
Bukannya gaya-gayaan, tren ini malah membahayakan, bahkan bisa merenggut nyawa. Efek penekanan pada bagian dada akan mengganggu aliran darah dan asupan oksigen ke otak. Dampaknya anak yang ditekan akan mulai alami gejala asfiksia (kekurangan oksigen) dan hilang kesadaran. (rns/rns)
Dikatakan Direktur Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan, dr Eni Gustina, MPH, skip challenge adalah permainan berbahaya. Melalui peran UKS dan para orangtua, diharapkan pengawasan terhadap remaja akan lebih aktif untuk mencegahnya.
"Kita baru tahu ini, akan kita sosialisasikan untuk UKS. Kebetulan kami mau ada pelatihan petugas UKS di Jakarta perlu dijelaskan ke anak-anak bahwa otak itu sangat penting. Tidak hanya masalah nutrisi saja tapi kalau dibikin asfiksia sel-sel otak akan mati dan dampaknya irreversible (permanen -red)," kata dr Eni ketika ditemui di Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/3/2017).
Menurutnya, orangtua juga perlu lebih memperdalam komunikasi dengan anak. Pasalnya, menginjak usia remaja, anak cenderung 'dilepas' sehingga sering kali orangtua tidak tahu atau minim pengetahuan mengenai apa yang dilakukan anaknya.
"Komunikasi! Paling penting itu komunikasi dengan anak. Enggak cuma nanya 'PR mu mana sudah selesai belum?'. Tanya apa saja yang dilakukan tadi, bercerita, jadi ada keterbukaan enggak merasa dilepas," sebut dr Eni.
Seperti diketahui, di media sosial tengah viral skip challenge atau pass out challenge. Dalam tantangan ini, seorang anak akan berdiri membelakangi tembok lalu dengan perlahan namun kuat-kuat temannya menekan dada sang anak.
Bukannya gaya-gayaan, tren ini malah membahayakan, bahkan bisa merenggut nyawa. Efek penekanan pada bagian dada akan mengganggu aliran darah dan asupan oksigen ke otak. Dampaknya anak yang ditekan akan mulai alami gejala asfiksia (kekurangan oksigen) dan hilang kesadaran. (rns/rns)
Sumber
0 Response to "Soal #SkipChallenge, Kemenkes: Perlu Peran UKS dan Orangtua"
Post a Comment