Atur Transportasi Online, Pemerintah Diminta Belajar dari Negara Tetangga

Jakarta - Revisi Peraturan Menter Perhubungan (PM) No 32 Tahun 2016 dinilai tidak ramah pada transportasi online. Karena itu, pemerintah diminta untuk belajar dari negara tetangga.
Hal tersebut diungkap Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia Mulich Zainal Asikin. Menurutnya selama tahapan sosialisasi revisi PM 32/2016 hingga saat ini, keberadaan peraturan tersebut tidak memberi jaminan kepastian hukum tapi malah membelenggu bisnis yang sifatnya disruptive.
Misalnya menempatkan pengemudi transportasi online menjadi karyawan atau pekerja. Padahal pada dasarnya bisnis ini berbasis sharing economi yang memberdayakan pengemudi sebagai pemilik-pengusaha.
Penggolongan bisnis jasa transportasi online dengan menyamakannya dengan bisnis taksi dan angkutan umum konvensional dianggap tidak tepat. Sebab pada dasarnya pelaku bisnis disruptive menggunakan platform sharing economy.
"Setidaknya, ada tiga poin yang tidak memihak pada transportasi online, yaitu, batasan tarif atas dan bawah, pengaturan kuota yang diserahkan ke masing-masing pemerintahan daerah dan balik nama STNK dari individu ke badan atau perusahaan. Langkah ini kontra produktif dengan era industri kreatif," papar Muslich seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima detikINET, Sabtu (1/4/2017).
Lebih lanjut Muchlich mengatakan PM 32/2016 dapat menjadi lonceng kematian industri kreatif di Indonesia, khususnya untuk transportasi online. Ketika harus ada biaya KIR, kewajiban balik nama STNK atas nama perusahaan atau koperasi, dan ketentuan batasan volume mesin kendaraan seperti taksi, dan keberadaan kepemilikan pool membuat pelaku bisnis transportasi online 'dipaksa' berkegiatan dengan regulasi yang lama sebagaimana yang telah dilakukan oleh pelaku usaha transportasi konvensional.
"Ini tidak sejalan dengan semangat program nawacita Presiden Jokowi yang mendorong terhadap kemandirian ekonomi kerakyatan dan industri kreatif," tegas Muslich.
Pemerintah pun dimintanya untuk berkaca dari negara tetangga. Malaysia misalnya, negara ini sebelum membuat aturan mengenai transportasi online, mereka terlebih dahulu melakukan studi yang hasilnya 80% masyarakat lebih memilih transportasi online dibanding armada konvensional. Penyebabnya adalah penumpang lebih mudah mengakses layanan online dibanding konvensional.
Sementara, Singapura melangkah lebih jauh. Meraka baru-baru ini mengizinkan perusahaan taksi konvensional menerapkan mekanisme harga dinamis (dynamic pricing) untuk armada mereka yang mendapat order lewat aplikasi.
Para pengambil kebijakan di Singapura melihat bahwa aplikasi transportasi online adalah contoh bagaimana industri dan pekerjaan dapat terkena dampak dari teknologi dan globalisasi. Ini tidak bisa dengan dilawan tetapi seluruh pelaku usaha harus dapat beradaptasi sehingga industri taksi konvensional juga tetap tumbuh.
"Saat ini, di Singapura, industri taksi konvensional juga dibolehkan menerapkan tarif dinamis untuk perjalanan menggunakan aplikasi mobile. Aturan ini bukan sekadar soal tarif karena pada dasarnya penumpang transportasi baik online ataupun konvensional memiliki kepentingan untuk dapat sampai tujuan dengan aman dan harga terjangkau," ungkap Muslich.
Karena itu, kata Muslich, sudah sepatutnya pemerintah Indonesia mengikuti jejak negara-negara tetangga dalam merespon perkembangan transportasi online. Kerangka aturan yang disiapkan pun haruslah merefleksikan aspirasi dari seluruh pemangku kepentingan. Bukan hanya pemain lama di bisnis transportasi, tapi pemain baru yang membawa inovasi teknologi dan juga tentunya konsumen yang menggunakan layanan transportasi umum sehari-hari. (afr/afr)
Hal tersebut diungkap Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia Mulich Zainal Asikin. Menurutnya selama tahapan sosialisasi revisi PM 32/2016 hingga saat ini, keberadaan peraturan tersebut tidak memberi jaminan kepastian hukum tapi malah membelenggu bisnis yang sifatnya disruptive.
Misalnya menempatkan pengemudi transportasi online menjadi karyawan atau pekerja. Padahal pada dasarnya bisnis ini berbasis sharing economi yang memberdayakan pengemudi sebagai pemilik-pengusaha.
Penggolongan bisnis jasa transportasi online dengan menyamakannya dengan bisnis taksi dan angkutan umum konvensional dianggap tidak tepat. Sebab pada dasarnya pelaku bisnis disruptive menggunakan platform sharing economy.
"Setidaknya, ada tiga poin yang tidak memihak pada transportasi online, yaitu, batasan tarif atas dan bawah, pengaturan kuota yang diserahkan ke masing-masing pemerintahan daerah dan balik nama STNK dari individu ke badan atau perusahaan. Langkah ini kontra produktif dengan era industri kreatif," papar Muslich seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima detikINET, Sabtu (1/4/2017).
Lebih lanjut Muchlich mengatakan PM 32/2016 dapat menjadi lonceng kematian industri kreatif di Indonesia, khususnya untuk transportasi online. Ketika harus ada biaya KIR, kewajiban balik nama STNK atas nama perusahaan atau koperasi, dan ketentuan batasan volume mesin kendaraan seperti taksi, dan keberadaan kepemilikan pool membuat pelaku bisnis transportasi online 'dipaksa' berkegiatan dengan regulasi yang lama sebagaimana yang telah dilakukan oleh pelaku usaha transportasi konvensional.
"Ini tidak sejalan dengan semangat program nawacita Presiden Jokowi yang mendorong terhadap kemandirian ekonomi kerakyatan dan industri kreatif," tegas Muslich.
![]() |
Pemerintah pun dimintanya untuk berkaca dari negara tetangga. Malaysia misalnya, negara ini sebelum membuat aturan mengenai transportasi online, mereka terlebih dahulu melakukan studi yang hasilnya 80% masyarakat lebih memilih transportasi online dibanding armada konvensional. Penyebabnya adalah penumpang lebih mudah mengakses layanan online dibanding konvensional.
Sementara, Singapura melangkah lebih jauh. Meraka baru-baru ini mengizinkan perusahaan taksi konvensional menerapkan mekanisme harga dinamis (dynamic pricing) untuk armada mereka yang mendapat order lewat aplikasi.
Para pengambil kebijakan di Singapura melihat bahwa aplikasi transportasi online adalah contoh bagaimana industri dan pekerjaan dapat terkena dampak dari teknologi dan globalisasi. Ini tidak bisa dengan dilawan tetapi seluruh pelaku usaha harus dapat beradaptasi sehingga industri taksi konvensional juga tetap tumbuh.
"Saat ini, di Singapura, industri taksi konvensional juga dibolehkan menerapkan tarif dinamis untuk perjalanan menggunakan aplikasi mobile. Aturan ini bukan sekadar soal tarif karena pada dasarnya penumpang transportasi baik online ataupun konvensional memiliki kepentingan untuk dapat sampai tujuan dengan aman dan harga terjangkau," ungkap Muslich.
Karena itu, kata Muslich, sudah sepatutnya pemerintah Indonesia mengikuti jejak negara-negara tetangga dalam merespon perkembangan transportasi online. Kerangka aturan yang disiapkan pun haruslah merefleksikan aspirasi dari seluruh pemangku kepentingan. Bukan hanya pemain lama di bisnis transportasi, tapi pemain baru yang membawa inovasi teknologi dan juga tentunya konsumen yang menggunakan layanan transportasi umum sehari-hari. (afr/afr)
Sumber
0 Response to "Atur Transportasi Online, Pemerintah Diminta Belajar dari Negara Tetangga"
Post a Comment