Indonesia Bukan Silicon Valley!



Startup, startup, dan startup. Makin hari makin banyak yang membahas tentang startup. Anak muda berbondong-bondong mencetak kartu nama bertuliskan titel "CEO", "Founder", dan "Co-Founder".

Beberapa di antara mereka sering menghiasi headline di berbagai media. Sepak terjang mereka makin diperhitungkan oleh para pebisnis konvensional. Tidak sedikit dari mereka yang berhasil mengusik para pemain lama. Sebagian dari para founder ini menjadi selebriti baru di Tanah Air. Mereka mengusung digital sebagai senjata utama.

Lantas, apa sebenarnya yang disebut digital startup ini? Dari berbagai referensi, saya menyimpulkan "digital startup" sebagai sekumpulan individu yang mendirikan perusahaan yang bertujuan menyelesaikan masalah dengan cara menciptakan solusi baru bagi masyarakat, menggunakan teknologi digital. Tentunya ada yang memiliki definisi dan pandangan yang berbeda dari saya mengenai ini.

Berbicara tentang digital startup biasanya tidak terlepas dari yang namanya Silicon Valley. Daerah lembah yang berjarak satu jam dari kota San Francisco ini menjadi markas utama bagi berbagai nama besar seperti Google di Mountain View, Facebook di Menlo Park, dan Apple di Cupertino.


Indonesia Bukan Silicon Valley!
Foto: Getty Images

Perusahaan teknologi yang sedang ngehits seperti Uber, Airbnb, dan Slack juga lahir di Silicon Valley. Fenomena inilah memperkuat posisi Silicon Valley hingga makin diakui sebagai pusat peradaban teknologi paling canggih di dunia.

Yang tidak kalah menarik adalah Silicon Valley ini memiliki sejarah yang panjang. Asal mulanya bisa ditarik dari seorang penemu transistor bernama William Shockley. Dia adalah pemenang Nobel Prize, yang kemudian membangun perusahaan yang dinamai Shockley Semiconductor di Palo Alto pada tahun 1956. Palo Alto juga merupakan salah satu kota di Silicon Valley.

Di tahun 1957 beberapa petinggi Shockley Semiconductor mengundurkan diri dan memulai perusahaan baru bernama Fairchild Semiconductor. Dua orang dari kumpulan ini, Gordon Moore dan Robert Noyce, kemudian lanjut mendirikan perusahaan bernama Intel. Salah satu dari mereka, Eugene Kleiner, memutuskan mendirikan perusahaan modal ventura Kleiner Perkins, yang 42 tahun kemudian mendanai Google.

Versi lain menyebut nama Frederick Terman sebagai Bapak Silicon Valley. Terman, yang bergabung di Fakultas Teknik Stanford di tahun 1925, adalah sosok yang mendorong dua mahasiswanya, William Hewlett dan David Packard, menciptakan audio oscillator dari sebuah garasi dan kemudian membangun perusahaan bernama Hewlett Packard (HP).

Sejarah Silicon Valley juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kampus ternama Stanford. President (setara dengan Rektor) Stanford, John L. Hennesy bahkan menjabat sebagai salah satu Direktur di Google. Di tahun 1998, Larry Page and Sergey Brin, menunjukkan sebuah teknologi temuan mereka kepada Hennessy yang kemudian kita kenal sebagai Google.

Hennessy sendiri juga merupakan salah satu investor di berbagai perusahaan modal ventura seperti Kleiner Perkins, Sequoia Capital dan Foundation Capital. John Doerr, partner dari Kleiner Perkins yang membungkus deal Google ini ternyata tiba di Silicon Valley untuk bekerja di Intel di tahun 1974, dan dia dikenal sangat aktif mengunjungi Stanford untuk menjaring ide-ide brilian mahasiswa.

Saya meyakini jaringan orang-orang inilah yang menjadikan ekosistem Silicon Valley begitu solid dari awal pembentukannya hingga saat ini. Selain itu, kampus kelas dunia Stanford juga sering disebut sebagai jantungnya Silicon Valley. Stanford juga menjadi tempat lahirnya Instagram, Snapchat dan ribuan startup lainnya.

Faktor inilah yang membuat banyak kota maupun negara, pengusaha maupun penguasa, startup maupun korporasi besar, berusaha mereplikasi Silicon Valley di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Indonesia Bukan Silicon Valley!Foto: Ikhwanul Khabibi

Namun bagi saya, Indonesia bukanlah Silicon Valley. Bukan hanya karena letak geografis, tapi juga budaya serta latar belakang sejarah Indonesia yang menjadikan kita sangat berbeda dibandingkan Silicon Valley. Semua ini membentuk jenis manusia dengan karakter dan mentalitas tertentu di negeri ini.

Silicon Valley bukanlah tentang fisik lokasi, maupun tentang mengumpulkan sekelompok orang mendirikan banyak perusahaan teknologi di satu lokasi. Silicon Valley adalah sebuah konsep, pola pikir, dan semangat yang mewakili sebuah revolusi teknologi.

Silicon Valley mendorong manusianya berani mengambil resiko, mengagungkan kegagalan sebagai proses pembelajaran, dan membudayakan jiwa berbagi untuk kepentingan ekosistem yang lebih besar.

Saya percaya suatu hari Indonesia mampu menciptakan sebuah ekosistem yang lebih mumpuni dari Silicon Valley. Dengan segala potensi, peluang, dan talenta yang dimiliki, Indonesia harusnya siap lepas landas menjadi salah satu kekuatan ekonomi digital terbesar di dunia.

Semua ini akan terwujud apabila manusia Indonesia mau bermimpi besar, mau bahu-membahu menciptakan ekosistem yang sehat, serta terus bersama-sama berbagi dan menyebarkan dampak positif melalui solusi teknologi digital. Bukan untuk kepentingan serakah satu individu maupun golongan, apalagi status quo.

Indonesia Bukan Silicon Valley!
Foto: Ikhwanul Khabibi


*Penulis adalah Chief Executive KIBAR, sebuah perusahaan yang fokus membangun ekosistem startup digital melalui program pembangunan kapasitas, inkubasi, dan akselerasi. Bersama berbagai komunitas, universitas, media, korporasi, dan pemerintah dengan visi yang sama, penulis menggagas program Innovative Academy UGM, StartSurabaya, dan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital.
(rou/rou)


Sumber

0 Response to "Indonesia Bukan Silicon Valley!"

Post a Comment

ADS-1

ADS-2

ADS-3

ADS-4